Our Event
/>
Archive for Desember 2013
Paradigma Mahasiswa Baru: Kejar IPK atau Mahasiswa aktivis?
Menyandang status mahasiswa
agaknya menjadi suatu gengsi tersendiri bagi kebanyakan siswa saat ini. Adanya mindset bahwa kuliah bisa meningkatkan
kualitas diri (asal dilakukan dengan benar), membuat banyak siswa berlomba –
lomba untuk merebut kursi perguruan tinggi dan menyandang mahasiswa. Selain mindset di atas, tentu saja sedari dulu,
bisa menggunakan almamater universitas adalah sebuah kebanggaan, apalagi
almamater yang dikenakan adalah almamater universitas – universitas terbaik di
negeri ini. Bagaimana tidak bangga, menjadi mahasiswa berarti menyandang status
the agent of change, atau agen
perubahan. Simplenya mahasiswa adalah pilar – pilar negara, kenapa demikian? Karena
mahasiswa yang sebenarnya adalah kaum intelek, kaum pemikir, kaum yang cerdas
dan tentu saja suatu negara membutuhkan pemuda – pemuda yang seperti itu.
Untuk
semua alasan di ataslah, ratusan ribu siswa lulusan SMA/Se-derajat berlomba –
lomba mengikuti seleksi masuk di universitas – universitas pilihan mereka.
Diantara mereka ada yang mengikuti bimbingan belajar yang biayanya jutaan
rupiah, hanya agar bisa menggapai satu kursi di kampus terbaik.
Setelah
segala upaya yang mereka lakukan, dan pada akhirnya mereka berhasil merebut
satu kursi kampus, mahasiswa – mahasiswa baru ini akan bertepuk dada dengan
bangga. Namun, apakah sebenarnya yang dicari para mahasiswa di kampus mereka.
Ketika seorang mahasiswa baru akan memasuki lingkungan kampus mereka untuk
pertama kali, mereka benar – benar putih polos. Mereka mendapat banyak ajaran
dan pemikiran yang berseliweran di lingkungan baru itu. Senior – senior yang
beragam pemikirannya, akan sangat mempengaruhi sepak terjang mereka selama
kuliah nantinya. Bagaimana tidak, ketika baru pertama kali masuk, senior –
senior akan sering meneriakkan doktrin – doktrin ala mahasiswa aktivis,
teriakkan “hidup mahasiswa” dan sebagainya tak akan asing di dengar mahasiswa
baru. Teriakan untuk menjadi mahasiswa yang selalu kritis, peduli dan tidak
apatis. Hal ini baik, karena memang begitulah seharusnya menjadi mahasiswa.
Harus siap mengabdi untuk masyarakat, dengan pengetahuan dan kecerdasan mampu
mengkritik langkah yang mereka anggap salah dari jajaran pemerintah,
mengorbankan waktunya untuk kegiatan sosial. Tapi terkadang mereka kelewatan
sosial. Mereka menghabiskan waktu untuk rapat sana – sini dan meninggalkan
kuliah, ikut unjuk rasa dan meninggalkan kuliah. Sehingga harus kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan IPK yang tinggi. Ini adalah pilihan, menjadi
mahasiswa baru tentu akan terjebak dalam
pilihan ini. Walaupun tentu saja passion dari dalam diri mahasiswa baru itu yang
nantinya akan menjadi filternya.
Maksudnya, passion seorang mahasiswa atau bisa kita sebut gairah mereka, jiwa
mereka lebih memilih jalan yang mana.
Mahasiswa yang memilih mengejar IPK ketimbang menjadi mahasiswa aktivis cenderung pendiam, dan tidak banyak bicara. Mereka adalah pemikir sejati, menyelesaikan masalah dengan bidang ilmu yang mereka geluti. Mereka adalah engine untuk pergerakan suatu bangsa. Sementara mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang cenderung sangat aktif, banyak bicara, senang memimpin dan menggerakkan rekan – rekannya. Mereka adalah pemimpin, penggerak engine yang saya maksud diatas. Jadi kedua tipe mahasiswa ini akan sangat saling membutuhkan. Dan tentu saja, negara ini membutuhkan kedua tipe mahasiswa ini. Tapi harus saya tekankan, bahwwa negara ini hanya membutuhkan mahasiswa sejati, mahasiswa yang sebenarnya. Maksud saya, mahasiswa yang benar – benar mau berfikir, mau ber korban, mau aktif untuk dirinya dan bangsanya. Bukan mahasiswa sok pintar, dan bukan mahasiswa sok aktivis yang suka teriak – teriak nggak jelas. Demo sana – sini dengan kerusuhan dan bikin onar. Itu bukan mahasiswa, mahasiswa adalah kaum intelek, dan akan menyelesaikan setiap masalah dengan cara intelek. So, mana yang kamu pilih, kejar IPK? Atau jadi aktivis dan sosialita? Better if you can be them both.
Mahasiswa yang memilih mengejar IPK ketimbang menjadi mahasiswa aktivis cenderung pendiam, dan tidak banyak bicara. Mereka adalah pemikir sejati, menyelesaikan masalah dengan bidang ilmu yang mereka geluti. Mereka adalah engine untuk pergerakan suatu bangsa. Sementara mahasiswa aktivis adalah mahasiswa yang cenderung sangat aktif, banyak bicara, senang memimpin dan menggerakkan rekan – rekannya. Mereka adalah pemimpin, penggerak engine yang saya maksud diatas. Jadi kedua tipe mahasiswa ini akan sangat saling membutuhkan. Dan tentu saja, negara ini membutuhkan kedua tipe mahasiswa ini. Tapi harus saya tekankan, bahwwa negara ini hanya membutuhkan mahasiswa sejati, mahasiswa yang sebenarnya. Maksud saya, mahasiswa yang benar – benar mau berfikir, mau ber korban, mau aktif untuk dirinya dan bangsanya. Bukan mahasiswa sok pintar, dan bukan mahasiswa sok aktivis yang suka teriak – teriak nggak jelas. Demo sana – sini dengan kerusuhan dan bikin onar. Itu bukan mahasiswa, mahasiswa adalah kaum intelek, dan akan menyelesaikan setiap masalah dengan cara intelek. So, mana yang kamu pilih, kejar IPK? Atau jadi aktivis dan sosialita? Better if you can be them both.
IPK Seniornya Jeblok, Peserta SNMPTN Terancam Tak Lulus
Para peserta SNMPTN 2014 akan ikut ditentukan oleh kualitas para alumni
sekolah asalnya. Itu jadi salah satu variabel baru dalam penilaian
kelulusan SNMPTN.
"Dalam SNMPTN, yang dibutuhkan nilai rapor, tapi bukan itu satu-satunya. Ada beberapa variabel lain yang digunakan, misalnya prosentase kakak kelasnya yang diterima ujian tertulis, IPK alumninya di fakultas yang bersangkutan," kata Ketua Pelaksana SNMPTN 2014, Ganjar Kurnia, di Hotel Grand Royal Preanger, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu 11 Desember 2013 malam.
Hal itu dilakukan agar para peserta SNMPTN yang dinyatakan lulus benar-benar berkualitas. Pada saat yang sama, sekolah secara tidak langsung dituntut untuk meningkatkan kualitas sekolah dan siswanya.
Dijelaskan Ganjar, hal serupa dilakukan Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam penerimaan mahasiswa barunya melalui proses SNMPTN. Dari variabel penilaian 'para senior', Unpad bisa mengetahui kualitas sekolah peserta SNMPTN.
Di Unpad, kualitas alumni salah satu SMA benar-benar jadi penilaian. Salah satu yang dinilai adalah IPK ketika mahasiswa lulus. "Kita menelusuri IPK alumninya yang diterima di Unpad itu rata-rata IPK-nya berapa," jelasnya.
IPK mahasiswa itu kemudian diakumulasikan dengan IPK para para mahasiswa Unpad dari lulusan SMA yang sama. "Kita gunakan nilai-nilai tersebut sehingga nanti kita akan mendapatkan satu nilai yang menggambarkan sekolah, posisi sekolah, dan juga kemampuan anaknya itu sendiri," tutur Ganjar.
Dalam penilaian seleksi SNMPTN, ada lima variabel yang dipertimbangkan untuk menentukan kelulusan peserta. Pertama meliputi tiga indeks atau faktor yaitu siswa, sekolah, dan wilayah. Kedua indeks siswa dengan indikator nilai rapor, kelengkapan nilai rapor, pencapaian nilai pelajaran dibanding kriteria ketuntasan minimal, nilai ujian nasional, dan prestasi lainnya.
Ketiga, indeks sekolah dengan indikator nilai rata-rata ujian nasional, nilai SBMPTN alumnya, akreditasi sekolah, serta jumlah siswa yang diterima di PTN melalui jalur SBMPTN dan SNMPTN tahun sebelumnya. Penilaian keempat adalah indeks wilayah dengan mempertimbangkan azas pemertaan. Terakhir, kebijakan sistem penilaian lokal diserahkan kepada masing-masing PTN.
Sumber : http://kampus.okezone.com/read/2013/12/12/373/911199/ipk-seniornya-jeblok-peserta-snmptn-terancam-tak-lulus
"Dalam SNMPTN, yang dibutuhkan nilai rapor, tapi bukan itu satu-satunya. Ada beberapa variabel lain yang digunakan, misalnya prosentase kakak kelasnya yang diterima ujian tertulis, IPK alumninya di fakultas yang bersangkutan," kata Ketua Pelaksana SNMPTN 2014, Ganjar Kurnia, di Hotel Grand Royal Preanger, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu 11 Desember 2013 malam.
Hal itu dilakukan agar para peserta SNMPTN yang dinyatakan lulus benar-benar berkualitas. Pada saat yang sama, sekolah secara tidak langsung dituntut untuk meningkatkan kualitas sekolah dan siswanya.
Dijelaskan Ganjar, hal serupa dilakukan Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam penerimaan mahasiswa barunya melalui proses SNMPTN. Dari variabel penilaian 'para senior', Unpad bisa mengetahui kualitas sekolah peserta SNMPTN.
Di Unpad, kualitas alumni salah satu SMA benar-benar jadi penilaian. Salah satu yang dinilai adalah IPK ketika mahasiswa lulus. "Kita menelusuri IPK alumninya yang diterima di Unpad itu rata-rata IPK-nya berapa," jelasnya.
IPK mahasiswa itu kemudian diakumulasikan dengan IPK para para mahasiswa Unpad dari lulusan SMA yang sama. "Kita gunakan nilai-nilai tersebut sehingga nanti kita akan mendapatkan satu nilai yang menggambarkan sekolah, posisi sekolah, dan juga kemampuan anaknya itu sendiri," tutur Ganjar.
Dalam penilaian seleksi SNMPTN, ada lima variabel yang dipertimbangkan untuk menentukan kelulusan peserta. Pertama meliputi tiga indeks atau faktor yaitu siswa, sekolah, dan wilayah. Kedua indeks siswa dengan indikator nilai rapor, kelengkapan nilai rapor, pencapaian nilai pelajaran dibanding kriteria ketuntasan minimal, nilai ujian nasional, dan prestasi lainnya.
Ketiga, indeks sekolah dengan indikator nilai rata-rata ujian nasional, nilai SBMPTN alumnya, akreditasi sekolah, serta jumlah siswa yang diterima di PTN melalui jalur SBMPTN dan SNMPTN tahun sebelumnya. Penilaian keempat adalah indeks wilayah dengan mempertimbangkan azas pemertaan. Terakhir, kebijakan sistem penilaian lokal diserahkan kepada masing-masing PTN.
Sumber : http://kampus.okezone.com/read/2013/12/12/373/911199/ipk-seniornya-jeblok-peserta-snmptn-terancam-tak-lulus